artikel menarik ini
tulisan dari :
Asep Sapa’at
Praktisi Pendidikan,
Pemerhati Karakter Guru di Character Building Indonesia
“We do not learn so much from experience as we do from reflecting on our experience” (John Dewey)
tulisan dari :
Asep Sapa’at
Praktisi Pendidikan,
Pemerhati Karakter Guru di Character Building Indonesia
“We do not learn so much from experience as we do from reflecting on our experience” (John Dewey)
Tanpa berpikir reflektif, pembelajaran bisa jadi tak bermakna. Semua berjalan rutin dan kerap kehilangan gairah. Meski telah berlangsung dalam rentang waktu lama, guru dan murid tak mampu maknai hikmah yang terserak di ruang kelas.
Pengalaman berharga apa yang bisa mereka ambil setelah mengalami aktivitas pembelajaran. Guru tak paham esensi mengajar. Sebaliknya, murid pun tak punya kesadaran diri, mengapa mereka harus belajar. Mengapa ini bisa terjadi?
Pertanyaan ini mengingatkan saya atas pengalaman mengesankan melihat praktik mengajar Kubochi sensei dan Sasabe sensei beberapa tahun silam. Saat itu mereka melakukan praktikum dalam pembelajaran sains. Saya cermati dokumen lembar kerja untuk murid. Menarik.
Mereka memberikan kolom khusus bagi murid untuk melakukan penilaian diri (self-assessment). Apakah kamu bekerja sama? Apakah kamu berpikir dengan baik? Apakah kamu berpartisipasi secara aktif? Apakah kamu paham? Anak diberi pilihan sikap dalam rentang skor 1 (buruk) sampai 5 (baik) untuk menjawab setiap pertanyaan. Pilihan mereka, itulah isi pikiran mereka.
Tak jarang, perasaan mereka memengaruhi jawaban mereka. Informasi berharga bagi guru, apa yang telah terjadi dengan murid-muridnya. Apa yang ada di pikiran dan perasaan para murid. Bukan hanya melulu bicara, apakah nilai mereka bagus atau jelek. Tapi, mengapa mereka bisa mendapat nilai bagus atau jelek? Justru, itulah inti persoalannya.
Self-assessment is used by learners to evaluate and monitor their own level of knowledge, performance and understanding and to get information about their learning (Cariaga-Lo, Richards and Frye, 1992). Penilaian diri ini sangat bermanfaat untuk melihat apa yang terjadi dengan pembelajaran dari perspektif murid.
Lewat proses penilaian diri, murid akan mampu belajar tentang dirinya sendiri dan menjadi sadar bagaimana mereka bisa belajar. Itulah keterampilan metakognitif, belajar bagaimana cara belajar (learning how to learn). Sejatinya, penilaian diri membantu murid lebih bertanggung jawab terhadap proses belajar mereka dan memonitor perkembangan belajar mereka di masa depan.
Assessment is regarded as a process o collecting, synthesizing and interpreting information in order to make decisions on studnet performance (Airasian, 1994).
Dalam konteks asesment, ada 3 tujuan asesmen, yaitu assessment of learning, assessment for learning, dan assessment as learning.
Assessment of learning bicara soal hasil belajar murid. Tujuan penilaian ini bersifat sumatif.
Biasanya menentukan kenaikan kelas atau kelulusan murid dari satu jenjang pendidikan tertentu. Guru punya tanggung jawab untuk melaporkan hasil belajar murid (kognitif, afektif, atau psikomotorik) secara akurat dan fair dengan merujuk pada bukti pengumpulan informasi yang efektif dan valid.
Assessment of learning bicara soal hasil belajar murid. Tujuan penilaian ini bersifat sumatif.
Biasanya menentukan kenaikan kelas atau kelulusan murid dari satu jenjang pendidikan tertentu. Guru punya tanggung jawab untuk melaporkan hasil belajar murid (kognitif, afektif, atau psikomotorik) secara akurat dan fair dengan merujuk pada bukti pengumpulan informasi yang efektif dan valid.
Assessment for learning adalah kebalikan dari assessment of learning adalah assessment for learning.
Assessment for learning bersifat formatif dan dilakukan sepanjang pembelajaran berlangsung. Tujuannya untuk mendiagnostik dan menemu-kenali apa yang sudah diketahui dan bisa dilakukan murid, serta kesulitan belajar seperti apa yang dihadapi murid.
Informasi profil belajar murid dari assessment for learning bukan merupakan hasil akhir yang menentukan posisi murid (tuntas atau tidak, naik kelas atau tidak, lulus atau tidak). Peran guru yang amat penting dalam konteks assessment for learning adalah memberikan umpan balik terhadap kelemahan-kelemahan belajar yang dialami muridnya. Harapannya, pada saat dilakukan assessment of learning, performa belajar murid memungkinkan dirinya bisa sukses melewati satu standar ukuran penilaian tertentu yang dipersyaratkan sekolah.
Assessment as learning adalah untuk membekali murid keterampilan menjadi pemikir reflektif dan pembelajar mandiri. Murid-murid terbiasa melakukan refleksi diri dengan melontarkan pertanyaan seperti, “Apa tujuan saya mempelajari konsep ini? Apa yang saya ketahui tentang topik pelajaran ini? Strategi belajar seperti apa yang bisa membantu saya belajar suatu topik pelajaran tertentu? Apakah saya paham dengan konsep ini? Apakah yang harus saya lakukan untuk meningkatkan hasil belajar saya?”
Dalam bentuk yang sederhana, Kubochi sensei dan Sasabe sensei sudah praktikkan konsepsi assessment as learning dalam konteks pembelajaran. Beberapa pertanyaan reflektif yang melatih murid untuk merefleksi pemahaman dan kesadaran diri mereka atas proses belajar yang telah dialami.
Mustahil lahir para pembelajar reflektif jika guru tak lakukan proses refleksi diri terlebih dahulu. Korthagen (1993) menyatakan, “Reflection or reflective teaching involves teachers using their beliefs about teaching and learning to analyse the situation critically and therefore they will take more responsibility for their own action in class”.
Jika guru tahu bahwa dirinya tak tahu soal manfaat refleksi diri, belajarlah. Yang sulit, guru punya sikap tak mau tahu. Kalau assessment of learning dan assessment for learning biasa diterapkan dalam konteks penilaian hasil belajar murid, mengapa assessment as learning tak sungguh-sungguh dipraktikkan juga? Karena dengan assessment as learning, guru dan murid sama-sama belajar menjadi pemikir reflektif.
Satu keterampilan hidup yang kerap diabaikan tentang thinking how to think, learning how to learn, learning how to teach, dan teaching how to learn. Sesuatu yang tak bisa dihitung dalam format angka, tapi amat berharga untuk masa depan guru dan murid.
Bagi guru, ada banyak cara dan alat yang bisa digunakan guru untuk melakukan refleksi mengajar. Bisa melalui pemaknaan terhadap hasil belajar murid, hasil wawancara dengan murid terkait profil mengajar guru, observasi kelas, menulis jurnal pembelajaran, focus group discussion, dan rekaman pembelajaran di kelas. Akhirnya, komitmen untuk berbenah jadi faktor yang sangat menentukan, apakah seorang guru mau atau tidak melakukan refleksi mengajar.
Guru dituntut memiliki ‘kedewasaan’ untuk mulai melatih dirinya sendiri dan murid jadi pemikir reflektif dan pembelajar mandiri melalui aktivitas assessment as learning. Entah dewasa karena terbentur-bentur dalam masalah mengajar sehari-hari. Atau dewasa karena sungguh-sungguh mengambil hikmah dari pengalaman belajar para murid, pengalaman mengajar guru lain, atau pengalaman mengajar dari dirinya sendiri.
Seperti pernyataan John Dewey di awal tulisan, tanpa refleksi, guru dan murid takkan pernah bisa belajar dari pengalaman mereka sendiri. Belajar tanpa makna, gagal memaknai episode pembelajaran. Tak ada salahnya belajar dari kebiasaan berpikir reflektif para guru di Finlandia. Mereka gemar berintrospeksi diri. Tirulah dan maknai apa yang kerap diucapkan mereka, “Apakah ada yang salah dengan cara mengajar saya?”
tiad ada gambar? kurang menarik :D
BalasHapusoh....( tapi setuju kan dengan konten artikelnya.... )
Hapus